Selasa, 20 September 2016

Jangkrik, Boss! Part 1: Lucunya (emang) Full, Nggak Setengah-Setengah



Sebelum membaca review “Warkop DKI  Jangkrik Boss! Part 1: Lucunya Full, Nggak Setengah-setengah” oleh penulis gagal gaul, Edot Herjunotz, aku emang udah ada niatan untuk nonton film itu.
Berhubung timingnya selalu nggak pas, akhirnya ketunda mulu. Nah, dan sampai pada akhirnya si Edot Herjunotz nge-review film itu, aku jadi sangat ambisius untuk sesegera mungkin menikmati film yang telah masuk di Rekor Muri dengan jumlah penonton terbanyak tersebut.

Baca review yang udah Edot Herjunotz tulis, aku sampai ngakak sendiri, apalagi kalau nonton langsung? Wah, bikin nggak sabar aja nih pingin bisa mencoba untuk ber-ngakak full nggak seterngah-setengah.
Entah apa yang udah Edot Herjunotz review, dari buku ataupun film selalu aja mengundang rasa penasaran. Apa emang karena dia yang jago me-review atau emang yang di-review itu bagus, jadi hasil review-annya Edot Herjunotz juga akan kelihatan bagus? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Eh, apasih aku ini?! Kenapa aku jadi mengelu-elukan si Edot Herjunotz coba? Buang-buang waktu aja. Lama-lama ngelonjak dianya. Kan ini juga aku mau nge-review, nge-review review-annya si Edot Herjunotz, hahahapasih~
Sebenernya bukan me-review sih, tapi cuma melihat, mengamati, meniru, dan kemudian memodifikasi hasil review-annya Edot Herjunotz aja. Hehe sorry ya, Dotz!

Minggu, 22 Maret 2015

Di Situ Kadang Saya Merasa Sedih

Setelah sekian lama menjalani hidup sebagai seorang jomblo expert. Jomblo expert? Apa itu? Jomblo expert adalah merupakan tingkatan dari jomblo stadium ketiga dari keempat tingkatan stadium jomblo yang berlaku di Indonesia.
Eits, tunggu dulu, kenapa gue jadi ngomongin jomblo? Kenapa kalian jadi bangga begitu tahu kalau gue jomblo? Gue nggak mau membahas itu. Gue nggak mau membahas kalau gue lagi jomblo. Nggak! Menambah rasa sakit saja.
Gue mau pamer kalau sekarang gue sudah nggak bangun siang-twitteran-makan (sambil twitteran)-nonton tv (sambil twitteran)-mandi (nggak sambil twitteran)-nongkrong (sambil twitteran)-ngabisin duit (kadang sambil twitteran juga)-begadang (sambil twitteran)-tidur (nggak sambil twitteran).
Gue sudah bisa bangun pagi (nggak langsung twitteran)-sholat (nggak sambil twitteran)-mandi (nggak sambil twitteran juga)-sarapan (sambil twitteran)-cari duit- (nggak sempet twitteran)- (bisa) sedekah (nggak gue pamerin di twitter).
Sudah keren kan siklus kehidupan gue sekarang? Hahaha... Iya, sekarang gue sudah kerja. Kerja beneran kerja. Bukan “kerjaannya ngetwit” atau “kerjaannya mencari kerja” atau “kerjaannya tidur”. Kerjanya ini beneran menghasilkan duit. Jadi wartawan, kerenkan? Hahahalhamdulillah...

Check-in Yuuk !!

“... I’m at a payphone trying to call home
All of my change, I spent on you
Where have the times gone
Baby, it’s all wrong
Where are the plans we made for two...”
Lirik lagu Payphone punyanya Maroon 5 yang dicover oleh si bibir sexy Niki Minaj itu, dari tadi pagi terus saja mengalun indah mewarnai pagi yang masih gelap di kamarku. Eh, bukan gelap ding, karena ini sudah pukul 07.00 WIB, cuma kamarku saja yang masih tertutup rapat, sehingga sinar mentari pagi yang hangat nggak bisa menyelinap masuk menyinari kamarku yang masih saja terasa senyap ini.
STOP !! Bentar bentar, ini kayaknya bukan kamarku. “Aku ini lagi di mana? Kamu siapa? Apa yang terjadi semalam?” Halah...
Iya, ini bukan di kamarku, tapi di rental PlayStation-nya @KhafidArdiansyah, sahabat seperjuanganku dulu saat masih sama-sama memperjuangkan sebuah toga sampai titik darah penghabisan. Lima tahun bergelut dengan buku dan teori-teori di sebuah perguruan-tinggi-swasta-yang-mempunyai-visi-melaju-dengan-mutu di Kota Semarang.
Sudah hampir satu bulan aku dipelihara oleh @KhafidArdiansyah. Tidur di tempatnya, makan di tempatnya, ngopi di tempatnya, mandi di tempatnya, dan juga boker di tempatnya. Tapi aku nggak ngupil di tempanya kok, sumpah!!

Kamis, 15 Januari 2015

Tak Ada Gagal yang Abadi

Setelah lulus kuliah, ada satu hal yang selalu membayangi pikiranku. CARI KERJA YANG ENAK!

Aku selalu berpikir mencari pekerjaan yang enak dan simpel. Walaupun aku tahu, yang namanya pekerjaan sebenarnya gak ada yang enak. Bagaimanapun juga namanya juga cuma ada dalam pikiran jadi suka-suka aku mau mikir apaan.

Sebagai mahasiswa lulusan Pendidikan Psikologi dan Bimbingan atau yang biasa disebut Guru BK. Jelas mencari pekerjaan sesuai ijazah bakalan susah, dan jauh dari kata sejahtera. Kalian pasti tahu, yang namanya guru honorer, atau guru yang belum PNS hidupnya menyedihkan, sangat jauh dari kata sejahtera. Kerja setiap hari dengan jam kerja yang sama seperti guru PNS tapi masalah gaji, 10 % aja gak ada.

Aku sempat dilema dengan kenyataan ini. Kalau aku harus bekerja sebagai guru BK, aku bisa terlihat keren karena punya gelar guru, bukan pengangguran. Tapi kalau masalah kesejahteraan, aku cuma bisa nangis sendirian, sambil meluk boneka. Boneka jenglot.

Seharusnya, Jangan Banyak Alasan!

Setiap orang pasti ingin sukses. Ingin mempunyai hidup yang baik. Namun, sayangnya setiap orang tidak tahu caranya untuk sukses. Atau mungkin, sebenarnya mereka tahu, tapi sayangnya mereka terkesan tidak mau tahu. Tidak mau tahu sebenarnya alasan yang dipakai oleh orang-orang pemalas di luar sana. Mereka ingin sukses, tapi tidak mau susah, tidak mau ribet.

Aku sering mendengar kalimat, "jangan takut untuk bermimpi’. Atau kalimat lain seperti, ‘Semua berawal dari mimpi’. Sampai kalimat mainstream, ‘Jangan pernah menyepelekan mimpi’. Dari ketiga kalimat sakti tentang mimpi tersebut menunjukkan bahwa mimpi adalah kekuatan kita untuk meraih kesuksesan, meraih tujuan hidup kita. Ketika kita punya mimpi, maka kita punya tujuan hidup.

Sayangnya, banyak yang punya mimpi hebat tapi tidak diimbangi dengan usaha yang hebat. Mereka punya mimpi yang telah menunggu untuk direalisasikan, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara merealisasikannya atau lebih tepatnya tidak mau tahu. Mimpi hanyalah sekedar mimpi buat mereka.

Ada salah satu temenku, sebut saja Abdi. Dia suka sama cewek satu kelas di kampusnya. Sebut saja, Saska. Dan aku, sebut saja, ‘Hamba Allah’. Oke, sepertinya ‘Hamba Allah’ gak lazim untuk dipakai dalam persoalan ‘sebut saja’. Aku sedang tidak dalam rangka menyumbang dana untuk peduli kasih.